Langit mendung perlahan memudar, wangi bunga melati dan mawar
merah bertebaran, angin sejuk menyapu kulit. Tangisku pun tak mampu memecah
sunyi, terasa begitu hening, hanya ada aku dan.....
Mungkin kalau aku tak mengenalnya tak akan seperti ini, mungkin
juga kalau dia tidak menyapaku, kutak akan bersamanya, mungkin kalau aku tak
mencintainya, hatiku tak sepedih ini.
“Ya aku terlalu sakit, tak bisa melihatmu......”
***
Adit terus tertawa, seperti tak ingin mendengar ucapanku, tak
lama wajahnya pun berubah, terdiam dan meneteskan air mata. Disudut ruangan
Winda sahabatku tampak cemas melihat kelakuan Adit, dia terus memegang tasku
dengan erat dan sedikit gemeteran.
“Ma..maaf, Dit, Nis...aku keluar aja ya”
Ucap Winda gelagapan.
“Iya gpp...kamu tunggu aja diluar ya Win, aku beresin masalah
ini sama Adit”.
Pikirku, Winda memang tak ingin ikut campur atau memang dia
sedikit ketakutan melihat perilaku Adit yang berubah - ubah.
Aku pun tak bisa berkata apa – apa saat Adit marah, karena
memang dia sangat kecewa dengan semua kenyataan itu. Kulihat Adit menggebrak
meja dan membuatku terkejut. “Jadi...kamu ada hubungan apa dengan lelaki itu!!”
teriak Adit.
Aku tahu Adit begitu marah saat tahu ada seorang lelaki datang
kerumahku sore kemarin, dan memang dia tahu lelaki itu tak lain adalah mantan
kekasih sewaktu disekolah.
“Kak...dia hanya berkunjung” kucoba jelasnya. “Ga mungkin!! Dia
ingin kembalikan?” jawab Adit seakan tak percaya.
“Kak cukup, kamu jangan seperti ini, dengarkan aku”
“Ahhh” Adit semakin menjadi, kulihat Adit mengepalkan tangan dan
memukulkannya kedinding, hingga tangannya berdarah Setelah puas meluapkan semua
amarah di hatinya, dia pun terdiam. Perlahan kumulai mendekati Adit, yang entah
berapa lama meluapkan amarahnya, berteriak hingga membuat hatiku terasa begitu
sakit melihat dia melukai dirinya sendiri, sesakit dirinya yang menganggap aku
tak setia.
Adit menarikku dan memelukku dengan erat, dia menangis, dan aku
tahu apa yang dia rasakan. “Nissa..kumohon jangan tinggalkan aku, ku sayang
kamu” ucap Adit dengan badan yang sedikit gemetaran. Kumerasakan tubuhnya
melemas, kumengajaknya duduk, dan dia kembali memelukku, oh tidak sekarang aku
yang memeluknya dengan erat.
“Kak” panggilan sayangku padanya. “Aku ingin kamu tahu, hatiku
ini sama, hingga kini tak ada nama yang lain dihatiku selain kamu”.
Adit semakin erat memelukku, dia seperti tak ingin melepasku, dan
ku tahu memang seperti itu. Adit sudah mengorbankan banyak sekali cita-citanya di
ibukota, dan memilih tinggal di kota intan yang kecil, serta melanjutkan
kuliahnya dikampus yang belum terkenal seperti dikota kelahirannya. Tak lain
semua itu demi selalu dekat denganku.
“Kak, lelaki itu masa laluku, dengan seribu alasan dan rayuan apapun
tak akan mampu membuatku berpaling darimu, dan bagiku kamu adalah satu-satunya
lelaki yang kini selalu menempati ruang hatiku”.
“Bila kamu tahu, begitu sakitnya hati ini saat kumelihat ada
lelaki itu dirumahmu, aku tak bisa berpikir baik, karena hati ini terlalu sakit
bila kamu bersama dengan lelaki lain”.
“Aku sayang kamu kak...” bisikku lembut. “Aku juga Nis...jangan
pernah berpaling dariku, aku hanya ingin kamu yang telah membuatku berarti dan
bahagia”.
Kami pun beranjak pergi dari ruangan itu, dan kulihat Winda
sedang tertunduk dibangku. “Hay Win...keUKS yuk...ek kenapa lo..ko nangis”
tanyaku penasaran saat melihat wajahnya yang bulat memerah dan air matanya
menetes.
“Kalian seh so sweet banget, ini karna kalian tuh yang
bikin aku nangis kayak gini” jawab Winda. Dari nada bicaranya kelihatan kalau
dia memang sedih. Aku dan Adit pun hanya bisa tertawa mendengar ucapannya.
Winda pun tampak malu, kelihatan dari wajahnya yang memerah, dan akhirnya sama
– sama ikut tertawa.
Kuobati luka di tangan Adit. “Lain kali jangan kayak gini lagi
ya kak”.
“Emang kalau aku kayak gitu lagi, kenapa ?” tanya Adit. “Aku
beneran bakalan ninggalin kamu”.
“Apa?” Adit terkejut dan mulai terdiam. “Hahahaha...wajahmu kak
lucu amat kalau lagi kaget gitu”
“Jawab yang bener...” ucapnya tegas. “Enggaklah, ga mungkin lagi
aku ninggalin cowok seganteng kamu, rugi donk...hahaha, apalagi kamu tuh kayak
artis idolaku”.
“Siapa?” tanyanya penasaran. “Mau tahu aja...”.
“Hemmmm...jadi gitu, ya udah pergi neh”
“Pergi aja...” jawabku sedikit menggoda.
“Ga ah...terserah kamu mau idolain siapa juga, yang penting hati
kamu itu ada aku selalu .... A D I T” ucapnya sambil mencium tanganku.
Itulah Adit yang selalu membuatku tersenyum bahagia, aku selalu
menjadi perempuan yang begitu sangat berarti dalam hidupnya, aku merasa
benar-benar dicintai dan disayanginya, biarpun aku tak bisa pungkiri bahwa Adit
selalu cemburu dan marah kalau aku dekat dengan lelaki lain. Tapi tak apa,
karena aku tahu hatinya itu begitu baik dan dia selalu ada untukku.
***
“Kamu kemana seh kak, kok ga bisa dihubungi kayak begini” ucapku
cemas.
“Dah bisa dihubungi Nis....?” tanya Winda. “Belum...”.
“Dah berapa lama dia ga hubungi kamu” Winda seakan ikut cemas. “Satu
bulan, semenjak dia balik ke Jakarta”.
“Jangan sampai dia kayak Angga ya, mentang-mentang dah lulus
pergi gitu aja, sekarang Adit dah lulus wisuda dan balik kerumahnya...eh ngilang
juga”.
“Adit tuh ga kayak Angga, dia beda...aku takut dia sakit”.
Satu bulan sudah kabar baik itu tak kunjung datang, setelah dia
menyelesaikan studi strata satunya dan kembali keibu kota, terhitung hanya
beberapa kali kami berkomunikasi, karena memang kesibukan kami, Adit mulai
bekerja diperusahaan ayahnya dan aku pun sibuk mempersiapkan kuliah.
Sebelum tak ada kabar, Adit sempat bilang “Nis..badanku kenapa
sering lelah ya, jantungku juga sering sakit”, aku pun menjawabnya
“Kak..mungkin kamu terlalu lelah, istirahatlah”. Semenjak itu aku tak kunjung
mendapat berita darinya, semoga saja tak ada hal buruk yang menimpa diri Adit.
***
Sore itu aku dan Winda baru saja selesai kelas terakhir, badan
memang terasa lelah dan pikiran sedikit pusing dengan hitungan serta rumus –
rumus yang banyak. Belum juga keluar gerbang kampus, kulihat diseberang jalan
seseorang melambaikan tangan, sempat bertanya – tanya “siapa dia?”, lihat kanan
kiri tak ada orang lagi, selain aku dan Winda.
“Win...liat tuh, siapa ya” tanyaku penasaran. Winda geleng –
geleng kepala. “Ga tau Nis”. Memang mataku agak sedikit bermasalah, dengan
penglihatan yang agak jauh. Kuberjalan perlahan, dan orang diseberang jalan pun
semakin jelas terlihat, “deg” jantungku berdetak cepat, kakiku terasa kaku
untuk melangkah, aku hanya bisa diam saat melihat dia, seakan itu hanya mimpi,
setelah 2 bulan lamanya aku tak bisa melihat dan mendengar suaranya.
Tak kusadari air mataku menetes. “Adit” bisikku dalam hati,
“Ya..itu kamu, itu benar-benar kamu sayang, aku melihatmu, ini tak mimpikan?”
tanyaku dalam hati.
“Nis..Nis...itu Adit...hei..Nis, ayo itu Adit” ucap Winda,
sambil menarik – narik tanganku, tapi aku masih terdiam, kakiku masih terasa
berat untuk melangkah, apa karena gugup atau karena aku masih tidak menyangka
dia benar – benar Adit.
Dia pun mendekatiku, dan kini tepat dihadapanku, tersenyum manis
seperti biasanya, ada yang beda, badannya sedikit kurus. Tapi tubuhku melemas
saat dia hendak memelukku, hingga membuatku terjatuh. “Nis..kamu kenapa?” tanya
Winda cemas. Adit pun sama sedikit cemas denganku, “Nis...kenapa?”.
Dengan wajah tanpa dosa aku hanya bisa bilang “laper....”. Padahal
aku hanya ingin menutupi rasa gugup saat kembali bertemu Adit. “Yuk..Nis kita
makan” ajak Adit. Saat itu aku pun tak bisa menutupi rasa malu saat Adit
mengajakku makan. “Tak usah aku mau pulang saja” jawabku.
Aku pun beranjak dan hendak pergi meninggalkan Adit. “Kemana
Nis...kamu tak mau pergi bersamaku?” tanya Adit. “Emm..gini..emm..aku mau pergi
sama Wi..winda” jawabku sedikit gugup.
“Eitts...Nis, kayaknya kalian butuh waktu berdua deh, aku pergi
duluan ya” ucap Winda sambil pergi meninggalkan kami. “Hei...Win” teriakku.
“Bye...hati – hati ya kalian” teriak Winda dari kejauhan. Kami pun memutuskan pergi
bersama kesuatu tempat, tapi tidak untuk makan, melainkan menyelesaikan semua
masalah yang ada, “kemana saja dia selama ini?” hatiku selalu bertanya – tanya
akan keberadaan dirinya.
Taman Kota memang menjadi pilihan terbaik untuk kami saling
bicara dari hati ke hati. Suasananya
sejuk dihiasi pepohonan yang rindang, rumput yang hijau dan rapi, bunga
bermekaran, tampak beberapa mahasiswa sedang belajar sambil bersantai menikmati
suasana serta anak – anak yang bermain gembira.
“Suasananya masih sama ya Nis...sejuk, ga kayak dikota...” ucap
Adit mencairkan suasana yang sedikit kaku, mungkin karena sudah terlalu lama
kami tak bertemu. “Biasa aja” ucapku sedikit ketus. Mendengar jawabanku seperti
itu, Adit tampak memandangku. “Kamu pasti marah Nis...aku tahu itu”.
“Aku tak akan bisa marah Dit..itu hak kamu, mau peduli atau
tidak kepadaku, tapi aku juga punya hak untuk tahu kenapa kamu memperlakukanku
seperti itu”.
“Aku bukan tak peduli padamu, tapi aku tak berdaya...” jawab
Adit. “Maksudmu..?” tanyaku balik. “Saat terbaring tak berdaya, hatiku menangis
Nis...aku merindukanmu, aku sungguh tak mampu berbuat apa-apa untuk bisa
menemuimu”.
Sesaat tangisku pun jatuh, mendengar jawaban Adit. “Kamu sakit?
Kenapa tidak beritahu aku ?” tanyaku sedih. “Aku ingin memberitahumu, tapi aku
tak bisa...aku benar-benar tak berdaya Nis, aku tak akan sanggup
meninggalkanmu, makanya setelah aku sembuh, aku ingin segera menemui kekasih
hatiku...percayalah Nis”.
Ya aku melihat kesungguhan itu di mata Adit, aku yakin dia tidak
membohongiku. Dan hati ini pun selalu meyakinkanku bahwa Adit sangat
mencintaiku. Saat itu aku pun tak mampu menahan rasa rinduku padanya, dan
pelukan Adit mampu menghilangkan beban dihatiku yang selama ini selalu gelisah
tak bisa bersamanya.
***
Perjalanan cintaku dan Adit mencapai puncak kesedihan, disaat
studi telah kuselesaikan, saat itu juga aku menerima kenyataan pahit bahwa aku
dan Adit tak akan bisa hidup bersama sebagai sepasang suami istri.
Tepat satu hari sebelum pertunangan, kabar buruk itu mampu
membuat hatiku hancur, seperti ada yang hilang, tubuhku lemas dan napasku
terasa sesak, air mataku tak berhenti mengalir, saat adik Adit yaitu Sara
berkata sambil menangis “Halo Kak Nissa, cepat kesini aku ada dirumah sakit
bersama papa mama” ucapnya sedikit parau. “Ada apa Sara ? kenapa ?” tanyaku
cemas. “Kak...kak Adit..dia kena serangan jantung” jawab Sara sedih.
Bumi ini seakan berhenti berputar, dadaku semakin sakit
mendengar berita itu, hatiku terasa
begitu hancur, pedih rasanya, aku tak tahu harus bagaimana menjalani hidup
tanpa Adit disisiku. Kuberusaha menguatkan hati serta jiwa ini untuk melihat
keadaan Adit, dan kucoba menerima takdir yang Tuhan tuliskan untukku, bahwa aku
memang tak bisa berjodoh dengan Adit.
***
Suasana hening itu masih begitu terasa, langit serasa ikut
berduka, semendung hatiku yang dirudung pedih, tangisan pun mampu memecah sepi,
saat itu pun bunga-bunga bertaburan mengiringi kepergiannya ketempat
peristirahatannya yang terakhir.
“Nis...yuk kamu terlalu lama disini, bukankah ada meeting hari
ini” bisik Winda yang mampu membangunkan lamunanku.
“Eh iya Win...yuk” jawabku sambil beranjak dari pemakaman itu.
Aku berjalan perlahan, hati ini sepertinya tak ingin beranjak
dari sana, tapi aku harus kuat bahwa kini Adit akan menjadi masa laluku dan
kenangan indah yang akan selalu membekas di hati, biarpun senyuman dan candanya
selalu terbayang, dan aku tak mampu melihatnya lagi.
Ya seperti keinginannya Adit, aku tak boleh terlalu sedih,
biarpun separuh hati ini hilang, kuyakin suatu hari nanti akan datang seseorang
yang mampu menggantikannya, dan hati itu bisa kembali utuh dalam sebuah cinta
yang indah.
Kucoba menghapus air mataku lagi. “Kugapai hidup yang baru Dit,
ku yakin kamu telah bahagia disana, dan hari ini aku ikhlas Dit, karena kuyakin
aku bisa meraih kebahagiaan yang baru, meski aku tak bisa pungkiri kamu akan
selalu ada di hati ini” bisikku dalam hati. “Ya...Dit, separuh hati yang
hilang, kelak nanti akan kembali utuh dan indah pada waktunya”.
SELESAI
aahh sedih banget endingnya mbak. jadi terharu :((
BalasHapusMakasih...memang sedikit kebnyakan nangis..tapi tetap harus bhagia :)
Hapus